Senin, 27 Desember 2010

PLURALISME dalam Terawang Front Pembela Islam (FPI)


oleh: Fawaidurrahman
(Alumni MTs. 01 Nurur Rohman Modern Pesantren angkatan pertama, Alumni Annuqayah, DUBA, Krapyak)




Prolog
 Semua agama mengajarkan untuk selalu menghormati-menghargai agama lain. Sebab, hidup dengan memeluk agama tertentu adalah pilihan yang sifatnya privasi karena terkait langsung dengan kayakinan masing-masing individu. Tidak ada satu agamapun yang mengajak pemeluknya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap agama lain. Oleh sebab itu, esensi agama adalah ajaran hidup untuk saling mengasihi. Agama secara sosial, berfungsi sebagai kontrol bagi terjadinya distorsi akhlak, budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemiskinan, kemaksiatan, kekerasan dan tindakan-tindakan amoral yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai agama yang menjunjung tinggi terhadap pri-kemanuisaan dan keluhuran moral. 

Namun demikian, ada upaya-upaya yang seolah-olah bertindak atas nama agama dalam melakukan aksi kekerasan. Hal tersebut milsanya dapat dilihat dalam penyerangan terhadap Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada saat memperingati hari pancasila 1 Juni 2008 yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (PFI). Hal tersebut tentunya merusak nilai-nilai pluralitas dalam beragama yang dijunjung tinggi semua agama. Pada sisi lain aksi tersebut mnecoreng kesejatian nilai agama yang diidentikkan dengan pelaku kekerasan tersebut yang menggunakan simbol-simbol Islam. Sebagai konsekwensi, Islam menjadi target klaim Agama yang fanatik yang apriori dengan agama lain.
Jika lebih spesifik dikaji dari perspektif keislaman, klaim tersebut secara implisit sangat tidak sesuai atau bahkan telah mencoreng nilai universalitas Islam sebagai Islam yang mengusung jargon rahmatan lil-‘alamin. Dengan jargon yang kemudian menjadi prinsip hidup tersebut, tidaklah mungkin Islam mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan represif yang secara sosial dapat mengancam atau bahkan menyengsarakan orang lain.
Namun demikian, seringkali manusia—umat muslim khususnya—tidak dapat menangkap pesan rahmatan lil-‘alamin tersebut ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba dimanifestasikan dalam kehidupan sosial yang berakibat pada pemaksaan tafsir dari masing-masing kepala. Ironisnya, tafsir tersebut seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Kebenaran selalu berjalin-kelindan antara satu dengan yag lain, bagai benang yang mencoba dirajut menjadi kain.
Max Weber (1864–1920) pernah mengungkapkan bahwa agama cukup berjasa dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Agama dianggap mampu memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan “revolusi”. Tesis ini tentunya bagaikan “mimpi indah” bagi umat beragama. Namun yang perlu direnungkan kembali, tesis Weber mengenai agama sebagai motor perubahan sosial “dilahirkan” di atas seratus tahun yang lalu. Weber bukanlah sosok “masa kini”. Karenanya, kita perlu membuktikan kembali kebenaran tesis Weber tersebut. Karena nampaknya saat ini kondisinya justru berbalik, yakni agamalah yang mesti mengejar “kebaruan” dalam pola interaksi sosial yang terbangun.

Slogan Keagamaan FPI

Kelhiran FPI tiada lain sebagai wujud dari terkoyaknya eksistensi dan kehormatan umat Islam selama Orde Baru yang seolah-olah dipinggirkan bahkan ditindas.[1] Adapun prinsip perjuangan FPI adalah terbentuknya perjuangan yang bersandar pada Ahlussunnah wa al-Jama'ah. Pedoman organisasinya adalah sebagai berikut:  Tujuan: Allah SWT., Teladan: Muhammad SAW., Pedoman: Al-Qur'an, Jalan Hidup: Jihad, Cita-cita: Mati Syahid, Semboyan: Hidup secara mulia atau mati secara syahid.[2]
Dalam hal ini FPI meyakini bahwa Islam agama yang paling benar sesuai dengan “pesan al-Quran” Inna ad-din ‘Indaallah al-Islam, bahwa Agama yang ada disisi Allah adalah Islam. Dalam pemahaman mereka nash tersebut mencoba meneguhkan Islam sebagai satu-satunya Agama yang diridhoi Allah, sementara yang lain tidak. Hal tersebut kemudian melahirkan justifikasi Agama lain adalah salah dan harus diluruskan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar. Diterapkannya syariat Islam di Indonesia, baik secara substansial maupun formalistis, merupakan visi yang ingin dicapai FPI.
Dari berbagai alternatif cara untuk mewujudkan visi tersebut, maka strategi yang dipilih FPI adalah melalui penegakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu upaya-upaya sistematis untuk mengajak umat Islam agar menjalankan perintah agamanya secara komprehensif, dan mencegah umat Islam agar tidak terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang merusak moral dan akidah Islamnya. Pendekatan solusi ini dipilih karena (saat FPI didirikan tahun 1998) belum ada ormas Islam yang berkecimpung dibidang amar ma’ruf nahi munkar secara konkrit dan tegas. Upaya mengisi kekosongan wilayah perjuangan ini merupakan upaya terorganisir dan sistematis untuk memenuhi kewajiban kolektif umat Islam dalam memberantas kejahatan (kemungkaran). Hal ini berpedoman pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kitab suci Al-Qur’an, surat Ali Imran (3):104 : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.[3]
Secara metodologis, dalam menerowong sebuah permasalahan FPI menggunakan sumber al-Quran dan Sunnah, serta ijma’ sahabat. Dalam hal ini FPI menolak Syar’u Man Qablana, Mashalih Mursalah, Istihsan, Dll.[4] Dalam pemahaman al-Quran dan Sunnah, FPI menutup ruang terhadap penafsiran ayat-ayat qoth’i, dan bagi FPI ketentuan Islam sebagai Agama paling benar merupakan teks qoth’i yang tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Pada ranah alternatif kecenderungan mereka dalam memilih ijma’ sahabat dalam meretas permasalahan yang tidak terkupas dalam sumber asli, menampakkan kekhasan keseharian mereka dalam meniru pola-pola arab masa sahabat, baik dalam berpakaian, mengambil sikap, serta dalam pengambilan sebuah kebijakan terkait dengan kemaslahatan era kini yang cenderung terjebak dengan konteks masa lalu (dalam hal ini masa sahabat).
Mereka beranggapan bahwa umat Islam dewasa ini telah jauh meninggalkan sumber hukum Islam (Quran dan Sunnah), sehingga mereka menyerukan untuk kembali menjadikan Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif hukum Islam yang menutup ruang untuk ditafsir ulang. Kelompok ini seakan tidak peduli pada “Islam yang hidup” di masa kini maupun dalam sejarah.
Memang, tidak dapat dipungkiri dan semua umat Islam meyakini bahwa al-Quran dan as-Sunnah menempati posisi otoritatif yang sangat tinggi dalam keyakinan Islam. Keduanya merupakan sumber tak terbatas bagi pemikiran tentang etika, moral, hukum, dan kearifan. Namun, jika didekati dengan komitmen intelektual dan moral yang keliru, parsial dan mengabaikan konteks, terlebih jika terjebak dengan historia masa sahabat, hal tersebut akan berkontribusi bagi proses kejumudan intelektual dan etis—untuk tidak menyebutnya kemunduran dan kebusukan.
Hal tersebut dapat dilihat misalnya dengan kajian al-Quran dan Sunnah yang memuat semangat pemberdayaan perempuan, sementara disisi lain ada pula seolah merendahkan perempuan. Jika tidak ada upaya kontekstualsasi dengan mencoba mensinkronkan maqashid dari suasana yang melingkupi suatu teks dengan nilai-nilai mashlahah, yang tampak jusru keusangan dari teks-teks itu sendiri.[5]
Setiap masa mempunyai sejarah masing-maisng. Kita tidak boleh terus dibayang-bayangi dengan retorika sejarah yang memang boleh sesuai pada zamannya tersendiri. Kita belajar dari proses hidup Umar bin Khatab yang bisa tampil berbeda. “Umar sangat praktis, realistis, fleksibel dan humanis dalam memecahkan masalah-masalah hukum.”[6] Dari sanalah kita harus berusaha untuk menciptakan konsep baru yang lebih menyentuh kemashlahan umat dari pada sekedar terjebak dengan normatifitas dan tekstualiatas, terlebih terhadap romantisme sejarah belaka.

FPI, Pluralisme dan Maqasid Syariah: Mencari “Benang Kuning”
Indonesia sebagai sebuah negera yang tidak berasaskan Negara Islam, menjamin adanya kebebasan beragama, sebagaiama tertuang dalam Undang-undang bahwa Negara menjamin kebebasan menjalankan agama sesuai dengan kayakinan masing-masing individu. Dengan demikian, penyerangan FPI terhadap Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada saat memperingati hari pancasila 1 Juni 2008 yang mengakibatkan banyak korban bisa dibilang telah bertindak serta merta.
Kasus lain misalnya keterlibatan FPI dalam kerusuhan dan pengrusakan pasca Tablig Akbar yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Ahlul Sunnah Wal Jama’ah, PPP, Front Pembela Islam (FPI) dan warga Jawa Timur pada hari Minggu, 30 Januari 1999. Tablig Akbar itu digelar sebagai bentuk kepedulian terhadap peristiwa di Ambon. Berdasarkan pantauan Bernas, massa menyerbu dan merusak sejumlah rumah ibadah gereja dengan cukup brutal. Sebagian besar dari mereka mempersiapkan sejumlah senjata tajam, pentungan dan batu, yang disembunyikan di balik baju yang dikenakan atau dibungkus dengan kain atau kertas. Aksi brutal itu diawali ribuan massa berkonvoi seusai mengikuti Tablig Akbar. Acara itu bubar menjelang shalat Dzuhur lalu disambung konvoi keliling kota.[7] 
Jika kita mencoba menggunakan Maqasid Syariah sebagai pisau analisa tentang adanya wacana plulisme ini, kita akan mendapatkan konsep hifdz ad-din. Terjaminnya hak atas tegaknya agama dan kebebasan beragama harus menjadi keharusan bagi umat manusia. Karena dengan agama inilah, yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Bagaimana Islam telah meletakkan dasar pemahaman kepada manusia dalam kebebasan beragama, sesuai dengan firman Allah Swt.: laa ikraaha fi al-din qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi (tiada paksaan untuk masuk ke suatu agama….).[8]
Demikian halnya dengan konsep hifdz an-nafs yang secara praktis terkait dengan maslah perlindungan HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM di atas otoritas kekuasaan dan birokrasi sudah banyak dipublikasikan di media massa. Selain kasus GAM dan TNI, kasus Timor Leste juga menjadi keprihatinan sendiri bagi masyarakat yang telah banyak menelan korban sipil tak berdosa, terlantarnya anak-anak yatim piatu, dan terjangkitanya busung lapar, ataupun hak-hak asasi manusia lain seperti hak bekerja, hak berpendapat, hak berfikir, seperi kasus penyerangan FPI terhadap tempat Ibadah Ahmadiyah, Al-Qiyadah dan sebagainya.
Dengan terjadinya kasus tersebut, aplikasi mashlahah terutama perlindungan hak hidup harus benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Termasuk dalam katagori pemeliharaan jiwa adalah perlindungan kehormatan, perlindungan kemanusiaan, larangan menuduh zina (penghinaan), dan hal-hal lain yang terkait dengan martabat kemanusiaan.
Dus, terjaminnya hak atas pengembangan akal dan pemikiran (hifdz al-‘aql). Prinsip ini mencoba melindungi pemeliharaan hak atas kebebasan berfikir, berpendapat, dan sebagainya. Islam melalui konsep mashlahah ini diharapkan dapat memelihara akal sebagai salah satu hal yang penting di tubuh manusia yang ditunjukkan dengan adanya perubahan masa jahiliyah ke masa keemasan. Dengan demikian, pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan katagori mashlahah ini dalam struktur yuridis dalam rangka menjaga kelangsungan akal manusia yang sehat.
Dengan demikian, FPI yang pada sebenarnya masih berpegang teguh terhadap al-Quran dan as-Sunnah seharusnya mencoba mencari ruang-ruang komprehensif dalam mengkaji sebuah permasalahan dengan tidak terjebak dengan konteks arab masa awal islam.
Bertoleransi di tengah Perbedaan: Menuju Dialog Antar Agama.

Melihat kompleksitas fenomena tersebut, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah respons umat Islam dalam menyikapi perbedaan keyakinan. Khususnya yang baru-baru ini muncul wacana hanya tentang “aliran-aliran sempalan” yang saat ini banyak lahir justru membuat umat muslim bersikap arogan dan destruktif. Umat Islam tidak menyadari bahwa diri mereka saat ini tengah diuji oleh lahirnya berbagai aliran tersebut. Sejauh mana mereka mampu mengaplikasikan sikap toleransi Nabi Muhammad yang dulu hidup di tengah keberagaman umat, baik dari berbagai suku, warna kulit, dan agama. Di mana pada waktu itu, Rasulullah sangat menghargai perbedaan-perbedaan tersebut dengan tetap mempertahankan sikap inklusif dan tidak memaksakan kehendak seseorang untuk mengikuti ajarannya. Apalagi, bersikap arogan pada mereka yang berbeda agama dengan beliau.
Bahkan, saat baru diangkat menjadi pemimpin Madinah, beliau pernah berpesan: “Barangsiapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku”. Sabda beliau jelas merupakan anjuran kepada kaum muslimin di dunia untuk selalu bersikap pluralis dan toleran (tasamuh) pada berbagai perbedaan yang ada. Oleh sebab itu, umat Islam harus bersikap secara lebih terbuka, arif, dan bijaksana dengan tetap menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan demikian, dialog antar-agama sangat dibutuhkan pada zaman sekarang. Salah satu sasaran yang paling signifikan adalah untuk menunjukkan bahwa agama, bagaimanapun juga, bukan penyeban dari pelbagai konflik. Ada dua hal yang perlu dasampaikan oleh umat Islam untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama cinta damai: pertama, adanya hubungan khusus dengan umat kristiani dan Yahudi dan apa arti hubungan ini bagi pengikut ajaran Ibrahimi; kedua, bahwa militansi agama tidak ditemukan secara khas di dalam masyrakat muslim, dan Bahwa militansi seperti itu akan reda bila isu-isu politik yang memicunya ditangani dengan baik dan dengan jelas.[9] Dalam hal ini Al-Fayyad dalam bukunya menyatakan bahwa “kematian” logosentrisme mengawali lahirnya dunia baru tanpa pusat, tanpa subyektifitas, tanpa ontologi, tanpa sandaran makna dan kebenaran otoritatif. Inilah dunia yang mengejarkan kita untuk liyaning liyan, menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan yang lain dalam kelainannya.[10]
Selain internal umat Islam, sistem pemerintahan di Indonesia pun perlu melakukan semacam pembenahan diri. Zamakhsyari mengasumsikan bahwa suatu tindak kekerasan yang terorganisir dengan rapi, yang sulit dikendalikan oleh penegak keamanan, sudah pasti berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang labil dan menimbulkan kerawanan serta konflik sosial politik. Kondisi sosial-politik yang tidak stabil, kepemimpinan nasional dan regional yang lemah, kehidupan hukum dan ekonomi kurang adil yang berakibat pada degradasi moralitas bangsa, merupakan lahan hunus bagi berkembangnya anarkisme.[11]
Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi problem kekerasan atas nama agama di negeri ini perlu adanya upaya injeksi kesadaran terhadap seluruh lapisan, dari pemerintah hingga masyarakat akar rumput akan pentingnya membangun stabiltas sosial-politik yang mencerdaskan dan upaya penegakan hukum yang tidak sekedar melihat kepastian hukum. Melainkan lebih kepada kemaslahan umat. Sesuai dengan konsep ushul fiqh “tasharruf al-imam manuth bil-mashlahah”.

Epilog

Dengan berbagai asumsi dan analisa di atas diharapkan dapat meluruskan pemahaman yang bengkok seputar adanya stereotype Islam agama kekerasan, yang tentunya juga memerlukan sikap inklusifitas dari umat Islam itu sendiri dalam memaknai suatu perbedaan. Sikap anarkis atas nama agama yang direferensikan kepada ajakan agama untuk berjihad, memerlukan tinjauan yang lebih kritis dengan pendekatan yang jelas dengan tidak hanya menafsirinya secara tekstual dan sepotong-potong.
Hal ini dilakukan agar terbukkti bahwa Islam adalah agama yang toleran, cinta damai, dan anti kekerasan. Adapun, ketika ada sempalan-sempalan yang mengatasnamakan agama untuk berbuat anarkis, perlu dekritkan bahwa tindakan-tindakan seperti itu pasti ada unsur “politik kambing putih” yang perlu untuk ditolak bersama-sama. Sedikit mengutip perkataan Ibnu Qoyyim al-Jauzi, “Islam adalah sesuatu, dan muslim adalah sesuatu yang lain. Seringkali keindahan Islam terhijabi oleh prilaku Muslim..”
Oleh sebab itu, persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi dari seluruh umat islam di Indonesia, agar keragaman dalam pemikiran dan ideologi di antara umat Islam dapat menjadi rahmat. Khaled Abou el Fadl menyerukan kepada umat islam untuk tidak terjebak dalam simbol dan otoritarianisme pemikiran apalagi politik. Sebab, baginya, Islam dan umat islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Kasih sayang dan moderasi yang menjadi nilai dasar islam harus diingat dan dibiakkan dalam hati umat Islam. Agar ekstrimisme tak punya tempat. Agar kebersamaan semua manusia dalam menegakkan nilai-nilai kebertuhanan sungguh-sungguh mendulang kemajuan. Disamping itu pula, diharapkan citra islam kembali bersinar dan mendapat tempat di hati pemeluknya dan bahkan bagi yang ada disekitarnya (non-islam) yang tiada lain dengan jalan “menyelamatkan Islam dari muslim puritan”
Akhirnya, apoligia pro libro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, kami mengharap kritis-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya. Wallahu A’lam.


[1] S. Yunanto, et.al. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), hlm. 129.
[2] Ibid., hlm. 130.
[3] Lacak dalam www.fpi.or.id. 6/14/2010 12:35:20 .
[4] Data tersebut didapatkan dari presentasi Ir. H. Djarot Margiantoro, M.Sc. pada hari rabu 16 Juni 2010 ketika menyampaikan Materi istinbath FPI, PKL PMH Fak. Syariah dan Hukum.
[5]Asumsi ini searah dengan teori otoritatif dan otoritarianisme Abou El Fadl yang mengisyaratkan bahwa hukum Islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih saying Tuhan bagi semua manusia. Baca, Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, trj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006). Hal. 178. Untuk keterangan yang lebih komprehensif terkait permasalahan ini, baca keseluruhan bukunya.
[6] Menurut Yudian Wahyudi, Umar mampu tampil seperti itu karena—secara tidak langsung—maqashid Syariah dijadikan sebagai metode yang sayangnya dimensi tersebut hilang dalam perjalanan sejarah, yang mengakibatkan maqashid Syariah lebih menjadi doktrin. Baca Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga,(Yogyakarta: Persantren Nawesea Press, cet. III, 2007) hal. 12.
[7] http//www.google.com. FPI Yogya "Tablig Akbar Yogya Kacau". Diakses pada tanggal 4 Februari 2007. Juga dalam makalah Ach. Saifuddin,Kekerasan Atas Nama Tuhan (Studi Kasus Kekerasan Yang Dilakukan FPI Yogyakarta)” hlm. 5.
[8] QS. Al-Baqarah: 265.
[9] Imam Feisal AR, Seruan Azan dari Puing WTC, (Bandung: Mizan. 2007) hlm.  343.
[10] Baca sinopsis buku Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009) hlm. 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar