Senin, 27 Desember 2010

Melepaskan Pesantren dari Bayang-Bayang Hegemoni Mazhab (Sebuah Telaah Ekploratif Upaya Mewujudkan Fiqh Inklusif)

Oleh: Fawaidurrahman

Ketika membincang soal fiqh, ada banyak wacana yang dialamatkan pada fiqh. Noer Cholish Madjid misalnya, pernah menyebutkan bahwa fiqh merupakan kompleksitas pemahaman keagamaan secara general yang berada dalam semangat keagamaannya. Sebagimana dalam surat At-Taubah ;122, terdapat satu adagium arab populer yang digunakan sebagai acuan prospek hukum islam, yaitu “tafaqquh fi al-din”. Disinilah pemahaman tentang fiqh secara terapan (teoritik-aplikatif) terasa sangat penting bagi sebagian pemikir islam pada masa kontemporer. Kendati pola pikir ulama-ulama klasik telah menetapkan koridor umum sebagai pembatasan penalaran ketetapan hukum (al-hukmu al-qhat’iy).
Dalam perangkat metodologi, ulama’ klasik merepresentasikan Fiqh sebagai produk pemikiran (ijtihad) yang didalamnya bersumber suatu hukum yang mengakomudir aktivitas manusia (‘amaliyah) dengan bukti-bukti yang komprehensif (dalalah al-tafsiliyah). Dengan ini, fiqh telah membatasi dirinya sebagai suatu hukum yang pasti dan bersumber dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul (Al-Hadits). Namun, benarkah fiqh telah merespons aspek-aspek mendasar dalam aktivitas manusia? Disinilah, kita akan melihat bagaimana hukum islam selayaknya dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap wilayah-wilayah metodologis (manhaj) dan implementasinya (istimbath) dalam tataran sosial. Problem yang mendasar ini sebenarnya membawa dan menampilkan pemikiran kreatif dan produktif para ulama kontemporer. Pada perkembangannya, kisaran fiqh terus disejajarkan dengan sikap fleksibelnya secara faktual dan daya pemahaman yang disesuaikan dengan paradigma kultural umat manusia.
Jika sedikit menengok kepada sejarah, pada pertengahan, ada sebuah perubahan alur gerak kerangka hukum itu sendiri. Mereka (para pakar hukum pada waktu itu) tidak secara langsung mengabsportif saringan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara murni, akan tetapi lebih merelevansikan produk pemikiran ulama klasik. Sehingga uot put landasan hukum yang mereka legitimasikan kurang optimal dan cenderung dogmatis. Maka kekuatan logika istinbath al-ahkam mengalami kebekuan dan produktifitas hukum Islam tampak tidak dinamis dan hanya terjebak dalam doktrin-doktrin ulama’ sebelumnya. Hal ini juga menyebabkan maraknya taqlid buta dikalangan umat Islam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, benarkan fiqh sudah membaku atau bahkan membeku? Rumit kiranya memecahkan masalah ini. Yang pasti, kehadiran pembacaan baru terhadap fiqh yang lebih dinamis tidak selalu mendapat sambutan ramah. Sebab, fiqh telah memiliki superioritas paradigma dan meteodologi tersendiri. Superioritas tersebut, menurut penulis, bukanlah monopoli fiqh melainkan hegemoni ulama’ yang mengatasnamakan perwakilan seluruh umat Islam.
Seiring dengan bergulirnya waktu, tawaran pembaharuan fiqh selalu hadir mewarnai hingar-bingar kehidupan umat Islam. Namun demikian, tidak segampang membuka sarung, tak jarang pembaharuan memperoleh cacian dan kecurigaan terselubung, walaupun respon positif datang agak terlambat. Disinilah peran kaum intelektual pesantren untuk selalu sadar akan kondisi hukum Islam yang terjerembab dalam dunia hegemoni dan melepaskan umat Islam dari fanatisme mazhab yang hanya menyebabkan kebekuan dalam hukum Islam itu sendiri.
Dus, Pesantren sebagai barometer utama dalam mencetak intelektual muda profesional dalam permasalahan hukum Islam, memduduki posisi yang sangat signifikan dalam melakukan deaspora pemikiran yang mencerahkan. Pesantren, sebagai lembaga indigenous Indonesia, mempunyai ragam prinsip dan misi prospektif dalam menatap perannya bagi masyarakat secara luas. Pesantren dituntut membuka ruang penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkan dan mengelola potensi-potensi mereka. Sehingga, jika pesantren melakukan reformulasi sistem tradisionalistik menuju Post-tradisional, pesantren dapat mengukuhkan kepercayaan masyarakat untuk setidak-tidaknya melakukan pembaharuan dibidang hukum Islam.
Hal ini dilakukan disebabkan kepercayaan yang begitu kuat masyrakat terhadap pesantren yang pada prinsipnya merupakan hasil dari deaspora ilmu pengetahuan (agama)—khususnya dibidang fiqh—yang memang menjadi sign tak tertulis dalam kelompok/warga pesantren itu sendiri. Dimana, hal tersebut selalu mendapat respon dan minat pembelajaran tidak saja bagi kiai atau santri yang telah lama dituntut untuk mendalami, tapi juga masyarakat luas yang ingin memperolah ilmu pengetahuan meski ditengah-tengah kesibukannya yang padat. Jika lebih dalam lagi kita mengkaji tentang eksistensi pesantren dan lebih spesifik tentang kajian-kajian hukum fiqh di pesantren, ternyata, disadari atau tidak, kajian-kajian ataupun ketetapan hukum yang ada cenderung menggunakan produk hukum dari Asy-syafi’iah an-sich tanpa adanya usaha perbandingan hukum antara pelbagai mazhab yang ada. Padahal, tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan pada ranah relevansi produk hukum tersebut dengan kemashlahan manusia yang selalu berkembang seiring perubahan ruang dan waktu.
Fenomena ini sejurus kemudian berakibat pada tertanamnya rasa fanatisme mazhab dalam diri santri yang semula diharapkan mampu melakukan tranformasi gagasan kepada masyarakat justru menyebarkan penyakit al-ta’asshub fil-mazhab, hingga berdampak negatif pada hilangnya produktifitas hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian, perlu adanya rekonseptualisasi metode pengkajian ataupun penetapan sebuah hukum di pesantren-pesantren agar hukum pesantren terkesan tidak mengkerangkeng nalar kritis para santri dengan hanya mendoktrin para santri dengan produk hukum ulama’ tertentu tanpa adanya upaya dialektis dengan perputaran zaman.
Wa al-Hal, jika, kemabali lagi bercermin kepada sejarah munculnya empat (4) madzhab yang menjadi pijakan setiap umat Islam sekarang ini justu melibatkan interaksi dialektis antara mazhab satu dengan yang lain toh, antara mereka masih ada hubungan guru-murid. Lain halnya dengan pesantren-pesantren sekarang, para santrinya justru takut—meminjam istilah epistemologi pesantren—”kualat” untuk berbeda pendapat dengan Kiai yang dianggap sebagai central figure. Jika para Imam Madzhab bisa, kenapa kita tidak?

 *] Penulis, seorang santri...

PLURALISME dalam Terawang Front Pembela Islam (FPI)


oleh: Fawaidurrahman
(Alumni MTs. 01 Nurur Rohman Modern Pesantren angkatan pertama, Alumni Annuqayah, DUBA, Krapyak)




Prolog
 Semua agama mengajarkan untuk selalu menghormati-menghargai agama lain. Sebab, hidup dengan memeluk agama tertentu adalah pilihan yang sifatnya privasi karena terkait langsung dengan kayakinan masing-masing individu. Tidak ada satu agamapun yang mengajak pemeluknya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap agama lain. Oleh sebab itu, esensi agama adalah ajaran hidup untuk saling mengasihi. Agama secara sosial, berfungsi sebagai kontrol bagi terjadinya distorsi akhlak, budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemiskinan, kemaksiatan, kekerasan dan tindakan-tindakan amoral yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai agama yang menjunjung tinggi terhadap pri-kemanuisaan dan keluhuran moral. 

Namun demikian, ada upaya-upaya yang seolah-olah bertindak atas nama agama dalam melakukan aksi kekerasan. Hal tersebut milsanya dapat dilihat dalam penyerangan terhadap Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada saat memperingati hari pancasila 1 Juni 2008 yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (PFI). Hal tersebut tentunya merusak nilai-nilai pluralitas dalam beragama yang dijunjung tinggi semua agama. Pada sisi lain aksi tersebut mnecoreng kesejatian nilai agama yang diidentikkan dengan pelaku kekerasan tersebut yang menggunakan simbol-simbol Islam. Sebagai konsekwensi, Islam menjadi target klaim Agama yang fanatik yang apriori dengan agama lain.
Jika lebih spesifik dikaji dari perspektif keislaman, klaim tersebut secara implisit sangat tidak sesuai atau bahkan telah mencoreng nilai universalitas Islam sebagai Islam yang mengusung jargon rahmatan lil-‘alamin. Dengan jargon yang kemudian menjadi prinsip hidup tersebut, tidaklah mungkin Islam mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan represif yang secara sosial dapat mengancam atau bahkan menyengsarakan orang lain.
Namun demikian, seringkali manusia—umat muslim khususnya—tidak dapat menangkap pesan rahmatan lil-‘alamin tersebut ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba dimanifestasikan dalam kehidupan sosial yang berakibat pada pemaksaan tafsir dari masing-masing kepala. Ironisnya, tafsir tersebut seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Kebenaran selalu berjalin-kelindan antara satu dengan yag lain, bagai benang yang mencoba dirajut menjadi kain.
Max Weber (1864–1920) pernah mengungkapkan bahwa agama cukup berjasa dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Agama dianggap mampu memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan “revolusi”. Tesis ini tentunya bagaikan “mimpi indah” bagi umat beragama. Namun yang perlu direnungkan kembali, tesis Weber mengenai agama sebagai motor perubahan sosial “dilahirkan” di atas seratus tahun yang lalu. Weber bukanlah sosok “masa kini”. Karenanya, kita perlu membuktikan kembali kebenaran tesis Weber tersebut. Karena nampaknya saat ini kondisinya justru berbalik, yakni agamalah yang mesti mengejar “kebaruan” dalam pola interaksi sosial yang terbangun.

Slogan Keagamaan FPI

Kelhiran FPI tiada lain sebagai wujud dari terkoyaknya eksistensi dan kehormatan umat Islam selama Orde Baru yang seolah-olah dipinggirkan bahkan ditindas.[1] Adapun prinsip perjuangan FPI adalah terbentuknya perjuangan yang bersandar pada Ahlussunnah wa al-Jama'ah. Pedoman organisasinya adalah sebagai berikut:  Tujuan: Allah SWT., Teladan: Muhammad SAW., Pedoman: Al-Qur'an, Jalan Hidup: Jihad, Cita-cita: Mati Syahid, Semboyan: Hidup secara mulia atau mati secara syahid.[2]
Dalam hal ini FPI meyakini bahwa Islam agama yang paling benar sesuai dengan “pesan al-Quran” Inna ad-din ‘Indaallah al-Islam, bahwa Agama yang ada disisi Allah adalah Islam. Dalam pemahaman mereka nash tersebut mencoba meneguhkan Islam sebagai satu-satunya Agama yang diridhoi Allah, sementara yang lain tidak. Hal tersebut kemudian melahirkan justifikasi Agama lain adalah salah dan harus diluruskan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar. Diterapkannya syariat Islam di Indonesia, baik secara substansial maupun formalistis, merupakan visi yang ingin dicapai FPI.
Dari berbagai alternatif cara untuk mewujudkan visi tersebut, maka strategi yang dipilih FPI adalah melalui penegakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu upaya-upaya sistematis untuk mengajak umat Islam agar menjalankan perintah agamanya secara komprehensif, dan mencegah umat Islam agar tidak terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang merusak moral dan akidah Islamnya. Pendekatan solusi ini dipilih karena (saat FPI didirikan tahun 1998) belum ada ormas Islam yang berkecimpung dibidang amar ma’ruf nahi munkar secara konkrit dan tegas. Upaya mengisi kekosongan wilayah perjuangan ini merupakan upaya terorganisir dan sistematis untuk memenuhi kewajiban kolektif umat Islam dalam memberantas kejahatan (kemungkaran). Hal ini berpedoman pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kitab suci Al-Qur’an, surat Ali Imran (3):104 : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.[3]
Secara metodologis, dalam menerowong sebuah permasalahan FPI menggunakan sumber al-Quran dan Sunnah, serta ijma’ sahabat. Dalam hal ini FPI menolak Syar’u Man Qablana, Mashalih Mursalah, Istihsan, Dll.[4] Dalam pemahaman al-Quran dan Sunnah, FPI menutup ruang terhadap penafsiran ayat-ayat qoth’i, dan bagi FPI ketentuan Islam sebagai Agama paling benar merupakan teks qoth’i yang tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Pada ranah alternatif kecenderungan mereka dalam memilih ijma’ sahabat dalam meretas permasalahan yang tidak terkupas dalam sumber asli, menampakkan kekhasan keseharian mereka dalam meniru pola-pola arab masa sahabat, baik dalam berpakaian, mengambil sikap, serta dalam pengambilan sebuah kebijakan terkait dengan kemaslahatan era kini yang cenderung terjebak dengan konteks masa lalu (dalam hal ini masa sahabat).
Mereka beranggapan bahwa umat Islam dewasa ini telah jauh meninggalkan sumber hukum Islam (Quran dan Sunnah), sehingga mereka menyerukan untuk kembali menjadikan Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif hukum Islam yang menutup ruang untuk ditafsir ulang. Kelompok ini seakan tidak peduli pada “Islam yang hidup” di masa kini maupun dalam sejarah.
Memang, tidak dapat dipungkiri dan semua umat Islam meyakini bahwa al-Quran dan as-Sunnah menempati posisi otoritatif yang sangat tinggi dalam keyakinan Islam. Keduanya merupakan sumber tak terbatas bagi pemikiran tentang etika, moral, hukum, dan kearifan. Namun, jika didekati dengan komitmen intelektual dan moral yang keliru, parsial dan mengabaikan konteks, terlebih jika terjebak dengan historia masa sahabat, hal tersebut akan berkontribusi bagi proses kejumudan intelektual dan etis—untuk tidak menyebutnya kemunduran dan kebusukan.
Hal tersebut dapat dilihat misalnya dengan kajian al-Quran dan Sunnah yang memuat semangat pemberdayaan perempuan, sementara disisi lain ada pula seolah merendahkan perempuan. Jika tidak ada upaya kontekstualsasi dengan mencoba mensinkronkan maqashid dari suasana yang melingkupi suatu teks dengan nilai-nilai mashlahah, yang tampak jusru keusangan dari teks-teks itu sendiri.[5]
Setiap masa mempunyai sejarah masing-maisng. Kita tidak boleh terus dibayang-bayangi dengan retorika sejarah yang memang boleh sesuai pada zamannya tersendiri. Kita belajar dari proses hidup Umar bin Khatab yang bisa tampil berbeda. “Umar sangat praktis, realistis, fleksibel dan humanis dalam memecahkan masalah-masalah hukum.”[6] Dari sanalah kita harus berusaha untuk menciptakan konsep baru yang lebih menyentuh kemashlahan umat dari pada sekedar terjebak dengan normatifitas dan tekstualiatas, terlebih terhadap romantisme sejarah belaka.

FPI, Pluralisme dan Maqasid Syariah: Mencari “Benang Kuning”
Indonesia sebagai sebuah negera yang tidak berasaskan Negara Islam, menjamin adanya kebebasan beragama, sebagaiama tertuang dalam Undang-undang bahwa Negara menjamin kebebasan menjalankan agama sesuai dengan kayakinan masing-masing individu. Dengan demikian, penyerangan FPI terhadap Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada saat memperingati hari pancasila 1 Juni 2008 yang mengakibatkan banyak korban bisa dibilang telah bertindak serta merta.
Kasus lain misalnya keterlibatan FPI dalam kerusuhan dan pengrusakan pasca Tablig Akbar yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Ahlul Sunnah Wal Jama’ah, PPP, Front Pembela Islam (FPI) dan warga Jawa Timur pada hari Minggu, 30 Januari 1999. Tablig Akbar itu digelar sebagai bentuk kepedulian terhadap peristiwa di Ambon. Berdasarkan pantauan Bernas, massa menyerbu dan merusak sejumlah rumah ibadah gereja dengan cukup brutal. Sebagian besar dari mereka mempersiapkan sejumlah senjata tajam, pentungan dan batu, yang disembunyikan di balik baju yang dikenakan atau dibungkus dengan kain atau kertas. Aksi brutal itu diawali ribuan massa berkonvoi seusai mengikuti Tablig Akbar. Acara itu bubar menjelang shalat Dzuhur lalu disambung konvoi keliling kota.[7] 
Jika kita mencoba menggunakan Maqasid Syariah sebagai pisau analisa tentang adanya wacana plulisme ini, kita akan mendapatkan konsep hifdz ad-din. Terjaminnya hak atas tegaknya agama dan kebebasan beragama harus menjadi keharusan bagi umat manusia. Karena dengan agama inilah, yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Bagaimana Islam telah meletakkan dasar pemahaman kepada manusia dalam kebebasan beragama, sesuai dengan firman Allah Swt.: laa ikraaha fi al-din qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi (tiada paksaan untuk masuk ke suatu agama….).[8]
Demikian halnya dengan konsep hifdz an-nafs yang secara praktis terkait dengan maslah perlindungan HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM di atas otoritas kekuasaan dan birokrasi sudah banyak dipublikasikan di media massa. Selain kasus GAM dan TNI, kasus Timor Leste juga menjadi keprihatinan sendiri bagi masyarakat yang telah banyak menelan korban sipil tak berdosa, terlantarnya anak-anak yatim piatu, dan terjangkitanya busung lapar, ataupun hak-hak asasi manusia lain seperti hak bekerja, hak berpendapat, hak berfikir, seperi kasus penyerangan FPI terhadap tempat Ibadah Ahmadiyah, Al-Qiyadah dan sebagainya.
Dengan terjadinya kasus tersebut, aplikasi mashlahah terutama perlindungan hak hidup harus benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Termasuk dalam katagori pemeliharaan jiwa adalah perlindungan kehormatan, perlindungan kemanusiaan, larangan menuduh zina (penghinaan), dan hal-hal lain yang terkait dengan martabat kemanusiaan.
Dus, terjaminnya hak atas pengembangan akal dan pemikiran (hifdz al-‘aql). Prinsip ini mencoba melindungi pemeliharaan hak atas kebebasan berfikir, berpendapat, dan sebagainya. Islam melalui konsep mashlahah ini diharapkan dapat memelihara akal sebagai salah satu hal yang penting di tubuh manusia yang ditunjukkan dengan adanya perubahan masa jahiliyah ke masa keemasan. Dengan demikian, pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan katagori mashlahah ini dalam struktur yuridis dalam rangka menjaga kelangsungan akal manusia yang sehat.
Dengan demikian, FPI yang pada sebenarnya masih berpegang teguh terhadap al-Quran dan as-Sunnah seharusnya mencoba mencari ruang-ruang komprehensif dalam mengkaji sebuah permasalahan dengan tidak terjebak dengan konteks arab masa awal islam.
Bertoleransi di tengah Perbedaan: Menuju Dialog Antar Agama.

Melihat kompleksitas fenomena tersebut, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah respons umat Islam dalam menyikapi perbedaan keyakinan. Khususnya yang baru-baru ini muncul wacana hanya tentang “aliran-aliran sempalan” yang saat ini banyak lahir justru membuat umat muslim bersikap arogan dan destruktif. Umat Islam tidak menyadari bahwa diri mereka saat ini tengah diuji oleh lahirnya berbagai aliran tersebut. Sejauh mana mereka mampu mengaplikasikan sikap toleransi Nabi Muhammad yang dulu hidup di tengah keberagaman umat, baik dari berbagai suku, warna kulit, dan agama. Di mana pada waktu itu, Rasulullah sangat menghargai perbedaan-perbedaan tersebut dengan tetap mempertahankan sikap inklusif dan tidak memaksakan kehendak seseorang untuk mengikuti ajarannya. Apalagi, bersikap arogan pada mereka yang berbeda agama dengan beliau.
Bahkan, saat baru diangkat menjadi pemimpin Madinah, beliau pernah berpesan: “Barangsiapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku”. Sabda beliau jelas merupakan anjuran kepada kaum muslimin di dunia untuk selalu bersikap pluralis dan toleran (tasamuh) pada berbagai perbedaan yang ada. Oleh sebab itu, umat Islam harus bersikap secara lebih terbuka, arif, dan bijaksana dengan tetap menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan demikian, dialog antar-agama sangat dibutuhkan pada zaman sekarang. Salah satu sasaran yang paling signifikan adalah untuk menunjukkan bahwa agama, bagaimanapun juga, bukan penyeban dari pelbagai konflik. Ada dua hal yang perlu dasampaikan oleh umat Islam untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama cinta damai: pertama, adanya hubungan khusus dengan umat kristiani dan Yahudi dan apa arti hubungan ini bagi pengikut ajaran Ibrahimi; kedua, bahwa militansi agama tidak ditemukan secara khas di dalam masyrakat muslim, dan Bahwa militansi seperti itu akan reda bila isu-isu politik yang memicunya ditangani dengan baik dan dengan jelas.[9] Dalam hal ini Al-Fayyad dalam bukunya menyatakan bahwa “kematian” logosentrisme mengawali lahirnya dunia baru tanpa pusat, tanpa subyektifitas, tanpa ontologi, tanpa sandaran makna dan kebenaran otoritatif. Inilah dunia yang mengejarkan kita untuk liyaning liyan, menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan yang lain dalam kelainannya.[10]
Selain internal umat Islam, sistem pemerintahan di Indonesia pun perlu melakukan semacam pembenahan diri. Zamakhsyari mengasumsikan bahwa suatu tindak kekerasan yang terorganisir dengan rapi, yang sulit dikendalikan oleh penegak keamanan, sudah pasti berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang labil dan menimbulkan kerawanan serta konflik sosial politik. Kondisi sosial-politik yang tidak stabil, kepemimpinan nasional dan regional yang lemah, kehidupan hukum dan ekonomi kurang adil yang berakibat pada degradasi moralitas bangsa, merupakan lahan hunus bagi berkembangnya anarkisme.[11]
Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi problem kekerasan atas nama agama di negeri ini perlu adanya upaya injeksi kesadaran terhadap seluruh lapisan, dari pemerintah hingga masyarakat akar rumput akan pentingnya membangun stabiltas sosial-politik yang mencerdaskan dan upaya penegakan hukum yang tidak sekedar melihat kepastian hukum. Melainkan lebih kepada kemaslahan umat. Sesuai dengan konsep ushul fiqh “tasharruf al-imam manuth bil-mashlahah”.

Epilog

Dengan berbagai asumsi dan analisa di atas diharapkan dapat meluruskan pemahaman yang bengkok seputar adanya stereotype Islam agama kekerasan, yang tentunya juga memerlukan sikap inklusifitas dari umat Islam itu sendiri dalam memaknai suatu perbedaan. Sikap anarkis atas nama agama yang direferensikan kepada ajakan agama untuk berjihad, memerlukan tinjauan yang lebih kritis dengan pendekatan yang jelas dengan tidak hanya menafsirinya secara tekstual dan sepotong-potong.
Hal ini dilakukan agar terbukkti bahwa Islam adalah agama yang toleran, cinta damai, dan anti kekerasan. Adapun, ketika ada sempalan-sempalan yang mengatasnamakan agama untuk berbuat anarkis, perlu dekritkan bahwa tindakan-tindakan seperti itu pasti ada unsur “politik kambing putih” yang perlu untuk ditolak bersama-sama. Sedikit mengutip perkataan Ibnu Qoyyim al-Jauzi, “Islam adalah sesuatu, dan muslim adalah sesuatu yang lain. Seringkali keindahan Islam terhijabi oleh prilaku Muslim..”
Oleh sebab itu, persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi dari seluruh umat islam di Indonesia, agar keragaman dalam pemikiran dan ideologi di antara umat Islam dapat menjadi rahmat. Khaled Abou el Fadl menyerukan kepada umat islam untuk tidak terjebak dalam simbol dan otoritarianisme pemikiran apalagi politik. Sebab, baginya, Islam dan umat islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Kasih sayang dan moderasi yang menjadi nilai dasar islam harus diingat dan dibiakkan dalam hati umat Islam. Agar ekstrimisme tak punya tempat. Agar kebersamaan semua manusia dalam menegakkan nilai-nilai kebertuhanan sungguh-sungguh mendulang kemajuan. Disamping itu pula, diharapkan citra islam kembali bersinar dan mendapat tempat di hati pemeluknya dan bahkan bagi yang ada disekitarnya (non-islam) yang tiada lain dengan jalan “menyelamatkan Islam dari muslim puritan”
Akhirnya, apoligia pro libro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, kami mengharap kritis-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya. Wallahu A’lam.


[1] S. Yunanto, et.al. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), hlm. 129.
[2] Ibid., hlm. 130.
[3] Lacak dalam www.fpi.or.id. 6/14/2010 12:35:20 .
[4] Data tersebut didapatkan dari presentasi Ir. H. Djarot Margiantoro, M.Sc. pada hari rabu 16 Juni 2010 ketika menyampaikan Materi istinbath FPI, PKL PMH Fak. Syariah dan Hukum.
[5]Asumsi ini searah dengan teori otoritatif dan otoritarianisme Abou El Fadl yang mengisyaratkan bahwa hukum Islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih saying Tuhan bagi semua manusia. Baca, Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, trj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006). Hal. 178. Untuk keterangan yang lebih komprehensif terkait permasalahan ini, baca keseluruhan bukunya.
[6] Menurut Yudian Wahyudi, Umar mampu tampil seperti itu karena—secara tidak langsung—maqashid Syariah dijadikan sebagai metode yang sayangnya dimensi tersebut hilang dalam perjalanan sejarah, yang mengakibatkan maqashid Syariah lebih menjadi doktrin. Baca Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga,(Yogyakarta: Persantren Nawesea Press, cet. III, 2007) hal. 12.
[7] http//www.google.com. FPI Yogya "Tablig Akbar Yogya Kacau". Diakses pada tanggal 4 Februari 2007. Juga dalam makalah Ach. Saifuddin,Kekerasan Atas Nama Tuhan (Studi Kasus Kekerasan Yang Dilakukan FPI Yogyakarta)” hlm. 5.
[8] QS. Al-Baqarah: 265.
[9] Imam Feisal AR, Seruan Azan dari Puing WTC, (Bandung: Mizan. 2007) hlm.  343.
[10] Baca sinopsis buku Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009) hlm. 113.

Rabu, 22 Desember 2010

dunia telah mati


sajak: Va Durih Carang

Wahai ibuku tercinta
Yang telah melayang dan tak sanggup
Aku kejar...
Bicaralah...
Walau hanya dengan rerunTuhan kembang saroja
Bisikkan sebututir mutiara kata
Walau hanya dengan sepoi angin
Yang tertiup dari sorga
Aku, anakmu ibu
Akan senantiasa mendengarkan
Terlepas apakah engkau masih mengakui
Atau sama sekali tak berdaya

Aku telah tak berdaya ibu
Topan telah mengkantam kenyataan hidupku
Aku terhempas menghantam bebatuan
Di curam terjal
Ibu........
Aku telah mengadu kepada Tuhan
Seperti yang telah kau sarankan tempo dulu
Semoga Tuhan mendengar rintihan batin anakmu ibu
Yang jelas tampak semakin lungkrah
Dan kumuh di pertengahan abad
Hingga aku merasa
Bahwa dunia telah mati
Aku mohonpadamu ibu
Sampaikan rintihan ini kepada Tuhan
Karena bagiku ibu adalah segala-galanya
Walau sekarang.......
Hanya ada batu nisan dangan ukiran cadah
Seperti namamu
Yang telah lama
Aku kenal

Sulur Cahaya

sengaja aku panggil engkau,
agar bisa duduk bersama menyaksikan mambang di ufuk sana
sebentar lagi berubah awan hitam

kita mulai pembicaraan, biar tidak terlalu lama engkau melongo dalam resah terasing dalam kesenyataan
akan kuajari hakikat kata; keikhlasan. nurani jiwa. jiwa yang kian tak ada di perjumpaan tiap manusia. ini adalah jiwamu jika engkau bergetar mendengarnya
sedang itu adalah tubuhmu jika kegelisahan terus menghambang di setiap jengkal langkahmu
engkau adalah hati nuranimu
bukan tubuh kosong yang berjalan hilir mudik meraung nasib. keberartian ada padamu

jika yang berpijar di tubuh itu adalah jiwa yang lapuk dan rapuh
menjadi hati di hadapan raja agungmu
fajar membias di tepian senja, sanggupkah engkau melintaskan
di dalam kalbumu, nama Tuhan, menuju puncak di langit pencakar jingga warna tubuhmu
di tanah mengecil engkau harus mengulanginya lagi, nama Tuhanmu jangan surut

pagi milikmu ketika di ambang pintu engkau telah mengetuk hanya untuk tuhan segala yang kecil bersandar pada-Nya
malam gelap berhak atas samuderamu
yang telah engkau pijari dengan sulur-sulur cahaya
mengaura dari dalam hatimu
: samudera tak bertepi.

Latee, 2006

Kamis, 09 Desember 2010

Nurur Rohman Modern Pesantren: Membumikan Pendidikan Berbasis Ketauhidan

Oleh: Fawaidurrahman[1]
PROLOG

Pendidikan Pesantren sebagai proses humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai kaidah moral. Sebab, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang bermoral. Moral manusia berkaitan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta atau lingkungan yang kemudian terkenal dengan sebutan trilogy dalam kajian filsafat. Oleh karenanya pendidikan seharusnya tidak mereduksi proses pembelajarannya hanya semata-mata untuk kepentingan salah satu segi aspek kemampuan saja, melainkan harus mampu menyeimbangkan kebutuhan moral dan intelektual.
Menurut A.M. Saefuddin, dalam upaya penanaman nilai-nilai keislaman pada peserta  didik, proses sosialisasi nilai yang paling strategis dan efektif adalah dalam dunia pendidikan. Nilai ketauhidan mempunyai relasi timbal balik terhadap proses pendidikan. Sistem nilai ketauhidan memerlukan transmisi, pewarisan, pelestarian dan pengembangan melalui pendidikan. Demikian juga dalam proses pendidikan Pesantren dibutuhkan sistem nilai dalam pelaksanaanya yang berjalan dengan arah yang pasti, karena berpedoman pada garis kebijaksaan yang ditimbulkan dari nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas kecerdasan, kerajinan, ketekunan dan lain sebagainya.[2]
Dalam mengaplikasikan nilai ketauhidan, Pendidikan Pesantren berperan untuk pengembangan nilai-nilai Islam lainnya sebagai nilai instrumental atau nilai turunan/cabang dari nilai ketuhidan itu sendiri, yakni dengan memenuhi pelbagai bentuk aspirasi masyarakat dan kebutuhannya pada tiap tingkat dan bidang pembangunan baik jasmani maupun rohani bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan, berkesejahteraan, serta diridloi oleh Allah SWT. Sistem nilai ketauhidan yang ada tidak hanya digunakan sebatas sebagai bahan konsultasi dalam rumusan tujuan pendidikan, tetapi juga menjadi acuan dalam sistem, strategi, dan teknoligi pendidikan, yang mencakup masalah pendidik, peserta didik, kurikulum pendidikan, metode dan media pendidikan, sarana-prasarana pendidikan, serta interaksi edukatif dengan dunia luar dan di dalam lembaga sendiri.
Islam memandang bahwa pendidikan terikat dengan nilai ketuhanan. Oleh karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keungulan spiritual dan kultural. Nilai ilahi dalam aspek teologi (kaidah keimanan) tak pernah mengalami perubahan karena memang lebih bersifat statis dan pasti, tetapi dalam interpetasi amaliahnya sangat mungkin untuk mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan lingkungan dimana masyarakat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya nilai insaniah selamanya mengalami perkembangan dan perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi.
            Tugas Nurur Rohman Modern Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan keilsmanan yang mengupayakan konsep check and balancing antara nilai-nilai ukhrawi dan dunyawiyah mencoba memadukan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama secara selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, tanpa meningalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru. Apabila suatu saat terjadi benturan nilai (clash civilization) antara nilai-nilai Islami dengan non-Islami maka fungsi dan peran Pendidikan Pesantren adalah mengaktualisasikan serta menfungsikan nilai-nilai Islami tersebut. Seperti saat ini, manusia modern dengan kekuatan IPTEKnya justru sering terlena dengan kemajuan materialnya dan meningalkan aspek spiritualnya. Pendidikan  islam harus menyelesaikan benturan-benturan tersebut dengan secara harmonis dalam masyarakat dengan tanpa menimbulkan ekses-ekses sosial, yang kemudian pada akhirnya dikawatirkan akan menimbulkan keteganngan mental-spiritual dan mengejala kedalam perilaku negatif, destruktif dalam kehidupan moral dan sosial.[3]
Dari sinilah urgensinya Pendidikan Pesantren yang kemudian harus dilandasi (berbasis) dengan nilai-nilai universal dan absolut kebenarannya (ketauhidan) guna mewujudkan suatu kepercayaan dalam arti luas dalam aspek-aspek lain, tidak hanya terbatas percaya pada Tuhan saja secara teosentris, tetapi juga harus secara antropo-sosiosentris dan secara kesatuan alam atau kosmologis, dengan kata lain kepercayaan kepada Tuhan harus disinergiskan dengan kepercayaan adanya pertalian antara manusia dengan Tuhan, dan pertalian antar manusia, serta alam semesta. Sehingga pendidikan pada akhirnya akan menghasilkan produk-produk manusia yang mempunyai kapasitas keimanan, ketaqwaan dan keislaman yang kuat hingga akhir hayat, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”[4]
           
Pengaruh Pendidikan Berbasis Ketauhidan Dalam Pendidikan Pesantren
           
Makna proses pembelajaran terletak pada sejauhmana dapat memposisikan peserta didik sebagai subyek pembelajaran bukan hanya sebagai obyek pembelajaran. Sehingga seorang pendidik harus mengutamakan kebutuhan peserta didik sekaligus menjalin interaksi komunikatif bermakna antara pendidik dengan peserta didik, atau antar peserta didik dengan yang lainya.[5]
Dalam prinsip Pendidikan Pesantren mengenal dengan “long live education” sebagaimana sabda nabi utlubu al-ilma minal mahdi ila al lahdzi “ carilah ilmu dari lahir (mahdi) sampai kita mati (lahdzi)”. Hal yang terpenting dari pengembangan nilai-nilai diatas adalah bagaimana membuat peserta didik agar memiliki kesadaran belajar yang tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu dalam belajar di sekolah. Sehingga pengembangan pembelajaran agama di sekolah perlu mencari sebuah format yang lebih efektif dan efesien dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajarnya.
Dari sini bisa dikatakan bahwa, implikasi yang diberikan oleh  nilai ketauhidan kepada Pendidikan Pesantren adalah integrasi keilmuan, dalam Pendidikan Pesantren tidak akan terjadi lagi yang namanya dikotomosasi ilmu sains dan agama. Pendidikan yang banyak diyakini oleh para ahli, sebenarnya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan visi kehidupan dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup dimasa depan, sehingga pendidikan akan selalu dinamis dengan kehidupan. Namun sayangnya pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis kreatif tersebut, seringkali dijerat oleh kepentingan-kepentingan emosional yang bersifat semu, banyak muatan yang sifatnya sesaat telah banyak mereduksi makna dari sebuah pendidikan yang lebih essensial dan subtansial. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik yang mempunyai peran dalam menghadapi masa yang akan datang, sehingga pandangan terhadap manusia (peserta didik) mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan sebuah pendidikan itu sendiri.
Sebagai ultimate goal (titik tuju), maka tauhid harus dijadikan sebagai nilai dari sebuah rangkaian kegiatan Pendidikan Pesantren, yang kemudian diarahkan pada pencapaian pertumbuhan kepribadian manusia secara seimbang.  Karena sebagian besar para pakar pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda, maka dalam merumuskan tujuan dari Pendidikan Pesantren itu sendiri terkesan bermacam-macam. Namun secara umum para pakar pendidikan Pendidikan Pesantren masih terjebak pada perumusan yang ideal, abstrak dan disfungsional bahkan kadang menjadi bias.
            Kata-kata iman, taqwa, shalih, insan kamil, adalah istilah-istilah yang masih bersifat ideal, abstrak dan umum, sehingga memiliki makna yang begitu luas dan mendalam. Karena sifatnya yang masih abstrak dan umum tidak jarang terjadi pereduksiaan makna terhadap istilah-istilah tersebut. hal ini terjadi karena tidak ad standarisasi yang bisa disepkati atau dirumuskan bersama.
            Makna taqwa misalnya, direduksi pada batas-batas yang sangat abstrak dan normatif, yaitu pemenuhan kewajiban ritual yang individualistik. Taqwa biasanya hanya diartikan sebatas “takut kepada Allah”, pemaknaan seperti ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi berhenti pada makna ini akan menyebabkan taqwa tidak fungsional di tingkat realitas. padahal sebagai prestasi rohani, taqwa adalah realisasi dari iman (potensi ruhani). Kalau demikian halnya maka taqwa lebih tepat diartikan sebagai “kesadaran ketuhanan” (god conciousness atau rabbaniyah), yaitu kesadaran bahwa Tuhan maha hadir (omnipresent) atau selalu hadir dalam kehidupan manusia sehari-hari. Implikasi kesadaran ini menyangkut kesediaan menyesuaikan diri di bawah cahaya kesadaran ketuhanan, sejalan dengan firman Allah, “kepunyaan Allah timur dan barat. maka kemana saja kamu berpaling di sana akan kau temui wajah Allah”.[6]
Dengan pemaknaan semacam ini taqwa akan fungsional bagi kehidupan manusia. Begitu pula dengan insan kamil yang dianggap sebagai prototipe manusia ideal yang dijadikan tujuan tetinggi Pendidikan Pesantren masih kabur. insan kamil atau manusia paripurna adalah sebuah gagasan ideal atau cita moral dari kepribadian muslim, yang menurut penilaian kaum sufi hanya bisa dicapai oleh para nabi dan rasul atau orang yang menjalani jalan suluk (sufi) dan pencapaiannya melalui pendakian spiritual yang berjenjang-jenjang (istilah teknis tasawuf: maqamat), hal  itu berarti insan kamil sebagai pola cita kepribadian muslim bukan wujud kongkrit dalam dinia nyata, melainkan suatu ide abstrak dalam dunia cita yang tak akan pernah terjelma sebagai kenyataan faktual dalam diri dan kehidupan manusia pada umumnya. tapi sama sekali tidak berarti bahwa proses perkembangan kepribadian manusia dibiarkan tanpa arah. bentuk pengarahannya- dan di sini peran penting pendidikan – terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan menafasi pencapaian pertumbuhan kepribadian tersebut. maka yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan diri, tempat manusia mencoba dan berusaha membuat diri pribadinya semakin sempurnan.
            Perlu disadari bahwa manusia tidak diciptakan dalam keadaan sekali jadi. Ia lahir dalam keadaan “belum selesai”.  Karena itu baik kualitas biologis maupun fitrah ontologisnya berupa kemampuan-kemampuan maknawi (intelektual, moral, spiritual, dll) harus dikembangkan secara terus menerus. artinya, di samping pertumbuhan badani berlangsung secara alamiah, ia juga harus membangun dan mengembangkan fitrah ontologiosnya secara berimbang. Al-Qur’an memberi isyarat jelas tentang ada dan perlunya proses penyempurnaan jiwa atau kepribadian ini. coba perhatikan surat Al-Syams: 7, “Demi jiwa dan proses penyempurnaannya”.[7]
Proses penyempurnaan jiwa adalah proses di mana manusia berusaha mengadakan perubahan dan peningkatan kepribadiannya. menurut Al-Qur’an, proses ini berlangsung secara manusiawi. artinya, proses penyempurnaan diri tergantung pada faktor manusia sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab. Al-Qur’an menyatakan begini: “Sungguh Allah tidak akan mengubah (keadaan) suatu kaum jika mereka tidak mau mengubahnya sendiri.[8]
            Pemberian tanggung jawab proses penyempurnaan diri itu pada manusia terletak pada pilihan tentang jalan hidup yang ditempuhnya sebagaimana dinyatakan dalam lanjutan surat as-Syams di atas. “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan”. Dengan demikian, dalam proses penyempurnaan kepribadian, manusia sebagai subyek yang sadar  dan bebas menentukan pilihan: apakah ia mengambil kufur (jalan kejahatan) atau taqwa (jalan kebaikan). pilihan tersebut berada dalam kesadaran moral yang terwujud dan berbentuk dalam kebebasan berkehendak dan memilih. namun demikian, dibalik pilihan itu tersimpul ide tanggung jawab moral terhadap dan untuk perbaikan kualitas dirinya sendiri. dengan meletakkan kufur dan taqwa sebagai dua hal yang berada di hadapan pilihan manusia, bersifat alternatif bahkan kontrdiktif, sebenarnya tersirat suatu perintah halus dan tidak langsung mengenai kewajiban mengenai kewajiban moral agar manusia – dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri – mengambil dan memilih jalan taqwa.
            Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa proses pengembangan kepribadiaan yang utuh dan seimbang sebagai “manusia tauhid”, sebagaimana menjadi tujuan Pendidikan Pesantren bukan lagi sebagai konsep yang abstrak, tetapi menemukan signifikansi yang konkrit dan nyata dalam kehidupan manusia. karena dalam konteks pendidikan berbasis ketauhidan, kepribadian yang seimbang dan utuh, haruslah mencapai dan terpenuhinya domain-domain secara seimbang antara kognitif, afektif dan psikomotoriknya, atau pada aspek fisik-biologis dan mental spiritualnya para peserta didik.
            Berpedoman pada penegertian diatas, maka materi Pendidikan Pesantren secara garis besar merupakan konseptualisasi dari fungsi umum manusia sebagai hamba Allah adalah fungsi dari ibadah atau aspek keberagamaan (hubungan teologis) dan sebagai Khalifah adalah fungsi eksistensial yang mencakup aspek hubungan sosiologis dan kosmologisnya yang semuanya mempunyai landasan ketauhidan yang universal dan tidak lagi parsial-teosenstris.
            Dari formulasi diatas mengimplikasikan bahwa materi Pendidikan Pesantren merupakan satu keutuhan seperti yang dikehendaki dalam faham atau konsep tauhid. Islam tidak menghendaki pembagian ilmu pengetahuan secara rigid dan terkotak-kotak terhadap ilmu pengetahuan sebagaimana dalam persepsi kaum sekular (faham sekularisme). Maka pandangan dikotomik terhadap ilmu pengetahuan dengan sendirinya tidak punya dasar dalam Islam.
            Mengenai metodologi yang diterapkan, karena hal ini erat kaitannya dengan hakekat kemanusiaan, tujuan dan materi pendidikan, maka konsekuensinya pemilihan, penetapan dan pengunaan metode harus mempertimbangkan karakteristik tersebut. Artinya metode yang dapat membimbing peserta didik sehingga ia memiliki peluang mengembangkan potensi dirinya (fitrah) untuk memenuhi kodratnya sebagai hamba dan khalifah Allah dibumi ini.

Trasformasi Nilai Ketauhidan Dalam Ranah Tradisi Pendidikan Pesantren
            Ada sebuah fenomena yang berkenaan dengan sikap  masyarakat terhadap sebuah agama, sehingga kemudian perlu adanya sebuah transformasi dalam dunia Pendidikan Pesantren. Fenomena atau kecenderungan itu bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari para generasi muda, ada kecenderungan pada masyarakat/generasi muda sekarang bahwa doktrin agama yang  mengenai ancaman neraka sudah tidak ampuh lagi dalam mengerem seseorang muslim untuk meninggalkan tindakan-tindakan maksiat, korupsi dll. Sementara disisi lain, iming-iming sorga tidak lagi mendorong seseorang untuk fastabiqul khoirat.[9] Ada sebuah kesan yang dapat kita ambil disini;
            Pertama, masyarakat sudah tidak percaya lagi pada para pemimpin masyarakat, bahkan juga para ulama dan kyai. Kedua,  ada kecenderungan masyarakat dan khususnya generasi muda tidak percaya lagi dengan doktrin agama (kehidupan akhirat/ sorga-neraka) kalau kredibilitas ajaran agama saja sudah mulai kehilangan elan vitalnya, maka ini sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, ada pertanyaan yang harus dijawab oleh Pendidikan Pesantren, pertama strategi apa yang harus dirumuskan dalam melaksanakan Pendidikan Pesantren dan khususnya pendidikan agama. kedua adakah korelasi antara ketaatan beribdah dengan peningkatan moral? jawaban yang akurat memang perlu sebuah penelitian, tetapi barangkali jawaban sementara, nampaknya memang tidak ada korelasinya.
            Berangkat dari fenomena-fenomena diatas, maka Pendidikan Pesantren perlu adanya sebuah transformasi nilai (ketauhidan) di dalam mengantisipasi perubahan masyarakat, yakni pendidikan yang menfasilitasi perubahan dengan pertimbangan prinsip-prinsip ketauhidan. Sehingga dari sini perlu adanya kontekstualisasi Pendidikan Pesantren dengan realitas sosialnya dengan mengunakan ”bantuan” ilmu-ilmu lain seperti sosiologi ataupun psikologi dan lain sebagainya.
            Untuk melakukan sebuah transformasi dalam dunia Pendidikan Pesantren, khususnya  pendidikan agama perlu dilakukan pendekatan-pendekatan alternatif sehingga Pendidikan Pesantren akan mudah, efektif dan efesien dalam melakukan tranformasi nilai ketauhidannya. Diantaranya pendekatan-pendekatan tersebut adalah pendekatan humanistik religious, rasional kritis, fungsional, dan  pendekatan kultural.[10]

EPILOG

Berangkat dari fenomena-fenomena diatas, maka Pendidikan Pesantren perlu adanya sebuah transformasi nilai (ketauhidan) dalam mengantisipasi perubahan masyarakat, yakni pendidikan yang menfasilitasi perubahan dengan pertimbangan prinsip-prinsip ketauhidan. Sehingga dari sini perlu adanya kontekstualisasi Pendidikan Pesantren dengan realitas sosialnya dengan mengunakan ”bantuan” ilmu-ilmu lain seperti sosiologi ataupun psikologi dan lain sebagainya. Untuk melakukan sebuah transformasi dalam dunia Pendidikan Pesantren, khususnya  pendidikan agama perlu dilakukan pendekatan-pendekatan alternatif sehingga Pendidikan Pesantren akan mudah, efektif dan efesien dalam melakukan tranformasi nilai ketauhidannya. Diantaranya pendekatan-pendekatan tersebut adalah pendekatan humanistik religious, rasional kritis, fungsional, dan  pendekatan kultural.
Pesantren harus mengganti prinsip lama yang menjadinya sebagai  jargon utama dalam melakukan proses dinamisasi pendidikan dalam internal pesantren. Nurur Rohman Modern Pesantren harus mampu menggunakan pripsip “an-Nadzr ‘ala al-qodim as-shaleh, wal-ja’lu bil-ajdad al-ashah wal-anfa‘.
Akhirnya, apoligia prolibro suo, tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terbuka pintu pembacaan lain. Dengan demikian, penulis hanya mengharap semoga tulisan ini dapat memberikan sumbang-sih pemikiran dalam menghiasi khazanah keilmuan. Amin… Wallahu A’lam


[1] Alumni Nurur Rohman Modern Pesantren, Annuqayah Sumenep, DUBA Pamekasan, al-Munawwir Krapyak, al-Ikhlas Kediri.
[2] Khoiron Rosyadi., Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2004) hlm.124.
[3] Arifin H.M., Kapita Selekta Pendidikan Indonesia Dan Umum, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991) hlm. 64-65.
[4] QS. Ali Imron: 102
[5] Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung:Alfabeta,2004)  hlm. 203.
[6] QS. Al- Baqarah/2: 115
[7] QS.  As-Syams: 7
[8] QS. Ar-Ra’d: 11
[9] Achmadi, Ideologi Pendidikan Pesantren: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm. 188.
[10] Ibid., hlm.193-200.