Kamis, 24 Maret 2011

Pesantren & Kitab Kuning; Wadah pengkerangkengan Intelektual?

Oleh: Mahirotul Alawiyah

Telah menjadi sesuatu yang ramai sekali mengeriang di telinga kita, identitas pesantren dengan kutub as-shofro’ atau dalam istilah di sini kitab “gundul”. Sejak awal munculnya pesantren, hingga sekarang bisa men’jenggot’i nya  – mengambil istilah pesantren – sudah menjadi suatu kewajiban bagi obyek didik dalam hal ini santri. Sehingga bila ada santri tidak bisa menjenggoti kitab gundul tersebut dianggap santri “semelekete”, S.Ag (Santri agak gimana) dan lain sebagainya.
Konsekwensinya, untuk bisa menjenggoti kitab gundul, mereka dituntut untuk memahami atau bahkan menghafal ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sorrof – sebuah proses awal yang memakan banyak waktu.
Mungkin dapat dimaklumi, untuk bisa menberi jenggot, santri dahulu menempuh proses yang sangat menjemukan, yakni penghafalan tersebut. Namun, jika berkaca kepada fenomena yang telah terjadi sekarang ini, terjemahan sudah membludak dan tegnologi pun sudah semakin canggih. Jadi sistem penghafalan nahwiah-sorfiah pun sudah tidak dibutuhkan lagi. Karena hanya akan membuang-buang waktu yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Memang benar aspek positifnya adalah untuk melatih kesabaran pada diri santri karena “As-Shabru Jamil” (mengambil salah satu pepatah arab). Akan tetapi waktu yang relatif lama inilah yang menjadi aspek negatifnya. Sehingga dengan penghafalan tersebut para santri baru memerlukan waktu, perhatian dan pemikiran tersendiri yang mengakibatkan aspek pemahaman isi kitab terabaikan.
Dalam kehidupan intelektual pesantren, pengajaran yang harus didahulukan sebelum kitab kuning adalah Al-Qur’an. Jadi, tidak ada salahnya jika waktu dan perhatian kita gunakan untuk menghafal dan memahami Al-Qur’an, selain bernilai ibadah, waktu yang banyak digunakan pun tidak tersia-sia, karena setiap kata yang keluar dari mulut kita – saat melafadlkan huruf-huruf Al-Qur’an – bernilai ibadah.

Kitab Kuning; Sebuah Kerangkeng Nalar Kritis
Jika lebih dalam lagi kita mengkaji tentang eksistensi kitab kuning di pesantren pada sekarang ini. Ternyata pengajaran kitab kuning yang ada di sebagian pesantren sekarang ini cenderung menggunakan kitab-kitab hasil pemikiran Ulama’ terdahulu, yang tidak menutup kemungkinan sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang (anakronis). {Ahmad Zahro, 2004}
Kitab-kitab yang diajarkan di sana (Pesantren) hampir semuanya kuno Seperti Ta’lim al-Muta’alim-nya Az-Zarnuji dan lain sebagainya, dan sebagian terbesar dari kitab-kitab aliran Syafi’iah. Sementara kitab karya Iman Syafi’ie sendiri (seperti Al-Umm) tidak diajarkan. Apa lagi kitab-kitan ‘Ashriyah. Kalaupun ada, paling-paling hanya dipegang oleh sang Kiai (dikomsumsi sendiri) dan tidak diajarkan kepada santrinya.
Sebagai dampak dari diajarkannya kitab-kitab tersebut (Ta’lim al-Muta’alim dan yang lain) santri tidak lagi menjadi generasi muda yang kritis, akan tetapi menjadi generasi muda yang statis, beku dan kolot. Salah satu contoh statisasi tersebut adalah, di dalam Ta’lim al-Muta’alim-nya Az-Zarnuji disebutkan bahwa, seorang santri tidak boleh menanyakan apa-apa kepada gurunya yang sedang mengajarkan suatu ilmu. Walaupun dia tidak mengerti dengan keterangan tersebut, atau keterangan sang guru tidak sesuai dengan yang seharusnya atau bahkan salah. Jadi secara tidak langsung, sang Kiai memang ingin mengkerangkeng nalar kritis para santri dengan hanya mengajarkan kitab-kitab yang membuat santrinya beku dan dengan mengajarka adanya sistem “kualatisme”. Wa al-Hal, jika bercermin kepada sejarah munculnya empat (4) madzhab yang menjadi pijakan setiap umat Islam sekarang ini adalah melalui proses perdebatan dengan sang guru. Lain halnya dengan pesantren-pesantren sekarang, para santrinya justru takut kualat untuk mendebat pandangan Kiainya yang sudah tidak relevan lagi. Jika para Imam Madzhab bisa, kenapa kita tidak?
Ada lagi fenomena menarik yang memampangkan lemahnya jiwa seorang Kiai, yakni adanya pengusiran terhadap santri yang sedang berproses menjadi manusia kritis atau ingin berteman kritis dengan kehidupan. Seperti itukah seorang Kiai, yang dalam definisinya adalah “man yandzur al-ummah bi ‘ain al-rahmah”? seperti itukah sikap seorang muslim qowi, yang serta merta mengambil keputusan tidak berdasarkan hati nurani dan pertimbangan yang matang? Jika hal seperti ini yang terjadi, maka hubungan guru murid tidak lagi bisa dikatakan sebagai relasi mushahabah, akan tetapi relasi pemangkas intelektual, dan fungsi pesantren yang semula adalah sebagai pembantu negara mencetak generasi intelektual muslim, kini berubah menjadi pengkerangkeng, pemenjara ataupun bembungkus intelektual.

*] Santrwati Nurur Rohman, Kelas 3 MTs.