Senin, 27 Desember 2010

Melepaskan Pesantren dari Bayang-Bayang Hegemoni Mazhab (Sebuah Telaah Ekploratif Upaya Mewujudkan Fiqh Inklusif)

Oleh: Fawaidurrahman

Ketika membincang soal fiqh, ada banyak wacana yang dialamatkan pada fiqh. Noer Cholish Madjid misalnya, pernah menyebutkan bahwa fiqh merupakan kompleksitas pemahaman keagamaan secara general yang berada dalam semangat keagamaannya. Sebagimana dalam surat At-Taubah ;122, terdapat satu adagium arab populer yang digunakan sebagai acuan prospek hukum islam, yaitu “tafaqquh fi al-din”. Disinilah pemahaman tentang fiqh secara terapan (teoritik-aplikatif) terasa sangat penting bagi sebagian pemikir islam pada masa kontemporer. Kendati pola pikir ulama-ulama klasik telah menetapkan koridor umum sebagai pembatasan penalaran ketetapan hukum (al-hukmu al-qhat’iy).
Dalam perangkat metodologi, ulama’ klasik merepresentasikan Fiqh sebagai produk pemikiran (ijtihad) yang didalamnya bersumber suatu hukum yang mengakomudir aktivitas manusia (‘amaliyah) dengan bukti-bukti yang komprehensif (dalalah al-tafsiliyah). Dengan ini, fiqh telah membatasi dirinya sebagai suatu hukum yang pasti dan bersumber dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul (Al-Hadits). Namun, benarkah fiqh telah merespons aspek-aspek mendasar dalam aktivitas manusia? Disinilah, kita akan melihat bagaimana hukum islam selayaknya dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap wilayah-wilayah metodologis (manhaj) dan implementasinya (istimbath) dalam tataran sosial. Problem yang mendasar ini sebenarnya membawa dan menampilkan pemikiran kreatif dan produktif para ulama kontemporer. Pada perkembangannya, kisaran fiqh terus disejajarkan dengan sikap fleksibelnya secara faktual dan daya pemahaman yang disesuaikan dengan paradigma kultural umat manusia.
Jika sedikit menengok kepada sejarah, pada pertengahan, ada sebuah perubahan alur gerak kerangka hukum itu sendiri. Mereka (para pakar hukum pada waktu itu) tidak secara langsung mengabsportif saringan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara murni, akan tetapi lebih merelevansikan produk pemikiran ulama klasik. Sehingga uot put landasan hukum yang mereka legitimasikan kurang optimal dan cenderung dogmatis. Maka kekuatan logika istinbath al-ahkam mengalami kebekuan dan produktifitas hukum Islam tampak tidak dinamis dan hanya terjebak dalam doktrin-doktrin ulama’ sebelumnya. Hal ini juga menyebabkan maraknya taqlid buta dikalangan umat Islam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, benarkan fiqh sudah membaku atau bahkan membeku? Rumit kiranya memecahkan masalah ini. Yang pasti, kehadiran pembacaan baru terhadap fiqh yang lebih dinamis tidak selalu mendapat sambutan ramah. Sebab, fiqh telah memiliki superioritas paradigma dan meteodologi tersendiri. Superioritas tersebut, menurut penulis, bukanlah monopoli fiqh melainkan hegemoni ulama’ yang mengatasnamakan perwakilan seluruh umat Islam.
Seiring dengan bergulirnya waktu, tawaran pembaharuan fiqh selalu hadir mewarnai hingar-bingar kehidupan umat Islam. Namun demikian, tidak segampang membuka sarung, tak jarang pembaharuan memperoleh cacian dan kecurigaan terselubung, walaupun respon positif datang agak terlambat. Disinilah peran kaum intelektual pesantren untuk selalu sadar akan kondisi hukum Islam yang terjerembab dalam dunia hegemoni dan melepaskan umat Islam dari fanatisme mazhab yang hanya menyebabkan kebekuan dalam hukum Islam itu sendiri.
Dus, Pesantren sebagai barometer utama dalam mencetak intelektual muda profesional dalam permasalahan hukum Islam, memduduki posisi yang sangat signifikan dalam melakukan deaspora pemikiran yang mencerahkan. Pesantren, sebagai lembaga indigenous Indonesia, mempunyai ragam prinsip dan misi prospektif dalam menatap perannya bagi masyarakat secara luas. Pesantren dituntut membuka ruang penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkan dan mengelola potensi-potensi mereka. Sehingga, jika pesantren melakukan reformulasi sistem tradisionalistik menuju Post-tradisional, pesantren dapat mengukuhkan kepercayaan masyarakat untuk setidak-tidaknya melakukan pembaharuan dibidang hukum Islam.
Hal ini dilakukan disebabkan kepercayaan yang begitu kuat masyrakat terhadap pesantren yang pada prinsipnya merupakan hasil dari deaspora ilmu pengetahuan (agama)—khususnya dibidang fiqh—yang memang menjadi sign tak tertulis dalam kelompok/warga pesantren itu sendiri. Dimana, hal tersebut selalu mendapat respon dan minat pembelajaran tidak saja bagi kiai atau santri yang telah lama dituntut untuk mendalami, tapi juga masyarakat luas yang ingin memperolah ilmu pengetahuan meski ditengah-tengah kesibukannya yang padat. Jika lebih dalam lagi kita mengkaji tentang eksistensi pesantren dan lebih spesifik tentang kajian-kajian hukum fiqh di pesantren, ternyata, disadari atau tidak, kajian-kajian ataupun ketetapan hukum yang ada cenderung menggunakan produk hukum dari Asy-syafi’iah an-sich tanpa adanya usaha perbandingan hukum antara pelbagai mazhab yang ada. Padahal, tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan pada ranah relevansi produk hukum tersebut dengan kemashlahan manusia yang selalu berkembang seiring perubahan ruang dan waktu.
Fenomena ini sejurus kemudian berakibat pada tertanamnya rasa fanatisme mazhab dalam diri santri yang semula diharapkan mampu melakukan tranformasi gagasan kepada masyarakat justru menyebarkan penyakit al-ta’asshub fil-mazhab, hingga berdampak negatif pada hilangnya produktifitas hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian, perlu adanya rekonseptualisasi metode pengkajian ataupun penetapan sebuah hukum di pesantren-pesantren agar hukum pesantren terkesan tidak mengkerangkeng nalar kritis para santri dengan hanya mendoktrin para santri dengan produk hukum ulama’ tertentu tanpa adanya upaya dialektis dengan perputaran zaman.
Wa al-Hal, jika, kemabali lagi bercermin kepada sejarah munculnya empat (4) madzhab yang menjadi pijakan setiap umat Islam sekarang ini justu melibatkan interaksi dialektis antara mazhab satu dengan yang lain toh, antara mereka masih ada hubungan guru-murid. Lain halnya dengan pesantren-pesantren sekarang, para santrinya justru takut—meminjam istilah epistemologi pesantren—”kualat” untuk berbeda pendapat dengan Kiai yang dianggap sebagai central figure. Jika para Imam Madzhab bisa, kenapa kita tidak?

 *] Penulis, seorang santri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar